SMARTPEKANBARU.COM – Daur ulang plastik bukan lagi sekadar upaya ramah lingkungan, tapi telah menjadi urat nadi ekonomi sirkular Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam peluncuran Recycling Rate Index (RRI) oleh Sustainable Waste Indonesia (SWI) dan Indonesian Plastic Recyclers (IPR) per April 2025.
RRI menghadirkan peta jalan berbasis data terkini yang mengungkap kinerja dan potensi ekonomi dari aktivitas daur ulang nasional.
Hadir dalam acara tersebut Dini Trisyanti, Direktur SWI, Deputi Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Drs. Ade Palguna Ruteka, dan Direktur Industri Kimia Hilir Kemenperin, Dr. Ir. Tri Ligayanti.
Dalam studi yang dilakukan Juli–Desember 2024 ini, ditemukan bahwa daur ulang pasca konsumsi untuk plastik jenis PET botol mencapai 71% dan HDPE rigid sebesar 60%—sebuah capaian tinggi yang menjadi harapan dalam upaya mengurangi sampah nasional.
“Kami percaya data yang akurat sangat krusial untuk memahami kondisi nyata di lapangan dan menjadi dasar bagi kebijakan yang lebih tepat,” ujar Dini Trisyanti, Direktur SWI sekaligus peneliti utama studi ini dalam siaran persnya kepada Kompas.tv, Minggu (4/5/2025).
Menurutnya, kontribusi daur ulang plastik terhadap produksi resin nasional mencapai 19%, dengan nilai ekonomi dari seluruh rantai daur ulang (pengumpulan, agregasi, hingga pengolahan) menyentuh angka fantastis: Rp19 triliun per tahun.
“Studi ini menunjukkan kontribusi daur ulang plastik dalam produksi resin plastik mencapai 19% dengan total nilai ekonomi mulai dari pengumpulan, agregasi hingga daur ulang plastik setidaknya mencapai Rp 19 triliun/tahun. Melihat dampak perekonomian dan pentingnya peran daur ulang plastik dalam pengelolaan sampah, diperlukan kolaborasi aktif lintas sektor—termasuk edukasi konsumen dalam memilah sampah dari sumber, transparansi pelaporan daur ulang secara nasional, serta inovasi teknologi untuk mendorong daur ulang plastik,”
Fakta ini menegaskan, daur ulang bukan hanya berdampak pada lingkungan, tapi juga signifikan secara ekonomi.
Namun, sektor daur ulang tidak lepas dari tantangan pelik—mulai dari terbatasnya infrastruktur pengumpulan, ketimpangan distribusi, volatilitas harga plastik global, hingga kendala dalam mendaur ulang plastik multilayer.
Ketiadaan sistem pelaporan daur ulang yang transparan dan data nasional yang terkonsolidasi juga menyulitkan pembuatan kebijakan yang tajam dan tepat sasaran.
Pemerintah menyambut baik hadirnya studi ini
“SWI telah berkontribusi memberikan analisa berbasis data yang melengkapi langkah pemerintah. Kolaborasi lintas pemangku kepentingan adalah kunci,” ujarnya.
Ia menegaskan, pemerintah menargetkan penuntasan persoalan sampah 100% pada tahun 2029, sebagaimana tercantum dalam Perpres No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN. Untuk itu, strategi seperti ekonomi sirkular, pelibatan produsen melalui Extended Producer Responsibility (EPR), serta optimalisasi daur ulang jadi fokus utama.
“Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional menargetkan penyelesaian 100 persen permasalahan sampah pada tahun 2029. Untuk mencapai target ambisius tersebut, telah disiapkan berbagai strategi pengurangan dan penanganan sampah, termasuk mendorong penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam sistem daur ulang serta mendorong produsen untuk menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR). Tentunya, target ini tidak akan tercapai tanpa dukungan dari seluruh sektor” tegas Ade.
Dari sektor industri, komitmen juga ditunjukkan oleh raksasa produsen plastik seperti Unilever Indonesia, Nestlé Indonesia, dan AQUA yang hadir dalam diskusi. Mereka menegaskan keterlibatan aktif dalam mengelola sampah plastik dari hulu ke hilir sebagai bagian dari tanggung jawab korporat.
Kesimpulannya, daur ulang bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Selain menyelamatkan lingkungan, sistem daur ulang yang terintegrasi terbukti mampu membuka peluang ekonomi besar dan memperkuat ketahanan industri nasional.
Edukasi publik, transparansi data, insentif fiskal, serta inovasi teknologi harus menjadi pilar utama transformasi ini.
Kompas TV