SMARTPEKANBARU.COM-Hari itu, langit Tembilahan masih berselimut mendung ketika seorang perwakilan dari Sekolah Swasta Pendidikan Ma’ruf tiba di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tembilahan. Ia datang dari Dusun Sumber Sari, Simpang Kateman, Kecamatan Pelangiran—sebuah daerah yang terbilang terpencil dan cukup jauh dari pusat kota.
Dengan akses jalan darat dan air yang terbatas, perjalanannya tidaklah mudah. Namun, semangatnya untuk mencari kejelasan mengenai kewajiban perpajakan sekolah swasta yang dikelolanya tak surut sedikit pun. Di tengah berbagai tantangan, ia memilih hadir langsung untuk berkonsultasi mengenai sistem pelaporan pajak terbaru: Coretax.
“Kami ingin memastikan semuanya sesuai aturan. Sekolah kami mungkin kecil, tapi kami ingin tertib soal pajak,” ungkapnya dengan wajah serius.
Konsultasi berlangsung secara tatap muka, diterima oleh petugas layanan KPP Tembilahan. Salah satu petugas, David Nathan Utomo, menjelaskan secara rinci perbedaan kewajiban perpajakan antara sekolah swasta dan negeri—hal yang menjadi sumber kebingungan utama dari sang Wajib Pajak.
Menurut David, sekolah swasta, sebagai entitas non-pemerintah, wajib memiliki NPWP, membuat bukti potong PPh, dan menyusun billing pajak melalui aplikasi Coretax. Hal ini berbeda dengan sekolah negeri yang pelaporannya sudah terintegrasi dalam sistem keuangan daerah dan berada di bawah koordinasi instansi pemerintah.
“Banyak yang belum tahu kalau sekolah swasta memiliki tanggung jawab pajak yang mandiri. Karena itu kami buka layanan seperti ini untuk memberikan asistensi secara langsung,” jelas David.
Dalam sesi konsultasi, petugas juga membimbing langkah demi langkah penggunaan Coretax: dari aktivasi akun, pembuatan user, hingga penerbitan bukti potong dan SSP elektronik. Penjelasan itu menjadi sangat penting, mengingat banyak lembaga pendidikan non-negeri di daerah belum sepenuhnya familiar dengan sistem digital ini.
Tak hanya teknis, petugas juga memberikan pemahaman tentang pentingnya pelaporan tepat waktu guna menghindari sanksi administratif yang bisa merugikan operasional sekolah.
“Kami pulang dengan kepala lebih ringan. Sekarang lebih paham apa yang harus kami lakukan,” tutur sang perwakilan sekolah sebelum berpamitan.
Kisah ini mencerminkan sebuah upaya sederhana namun penuh makna: bahwa kepatuhan pajak bukan hanya urusan kota besar atau lembaga mapan. Bahkan dari pelosok Pelangiran, semangat untuk memahami dan menjalankan kewajiban negara tetap menyala.
KPP Tembilahan sendiri terus membuka ruang dialog dan asistensi melalui layanan tatap muka maupun daring, sebagai bagian dari misi edukasi pajak yang merata dan inklusif.