SMARTPEKANBARU.COM- Pemerintah Kabupaten Siak menyambut baik kebijakan Forest Stewardship Council (FSC) sebagai peluang baru untuk memperbaiki tata kelola hutan, sekaligus menyelesaikan konflik sosial yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Bupati Siak, Afni Zulkifli, menyatakan komitmen penuh untuk mengawal langsung proses sertifikasi dan remediasi kehutanan di wilayahnya.
“Siak selama ini terkepung oleh residu konflik akibat konsesi HGU dan HTI. Lewat pendekatan FSC, kita mulai jalan baru, memulihkan lingkungan dan menyelesaikan konflik sosial secara bermartabat,” ujar Afni, Rabu (16/7/2025).
Ia juga menghadiri dialog terkait kebijakan FSC ini sehari sebelumnya di pendopo rumah dinasnya. Dialog itu menjadi forum kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil, akademisi, dan media dalam mencari jalan keluar dari konflik agraria dan kehutanan yang tak kunjung usai.
“Kami ingin semua pihak duduk bersama. Pemerintah, perusahaan, akademisi, masyarakat, dan media harus terlibat. Penyelesaian tidak boleh sepihak,” kata Afni.
Ia menyebut sejumlah konflik agraria yang masih berlangsung, termasuk yang melibatkan PT SSL, dan PT BKM, harus ditangani melalui koordinasi lintas sektor. Ia mencontohkan konflik Tumang sebagai pelajaran pahit yang tidak boleh terulang.
“Jangan lagi rakyat menjadi korban. Penyelesaian harus manusiawi dan berkeadilan,” ujarnya.
FSC merupakan lembaga internasional yang dikenal sebagai pelopor sistem sertifikasi kehutanan berkelanjutan. FSC hadir di Siak untuk memperkenalkan pendekatan baru dalam pengelolaan hutan yang menjunjung prinsip keberlanjutan, hak sosial, dan transparansi rantai pasok.
“FSC hadir untuk memastikan bahwa produk hutan berasal dari sumber yang tidak merusak lingkungan, menghormati hak masyarakat, dan tetap bernilai ekonomi,” kata Hartono Prabowo, perwakilan FSC Indonesia.
Hartono menjelaskan sistem sertifikasi FSC memungkinkan pelacakan asal-usul produk kayu dan non-kayu dari hulu hingga hilir. Setiap tahap pengelolaan, mulai dari hutan, pengolahan, hingga distribusi, harus memenuhi standar ketat yang ditetapkan secara global.
Selain sistem sertifikasi, FSC juga memperkenalkan Remedy Framework atau kerangka kerja perbaikan. Melalui mekanisme ini, perusahaan diminta untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan pelanggaran sosial yang terjadi di masa lalu, sebelum kembali masuk dalam sistem FSC.
“Remediasi ini bisa berupa pemulihan ekosistem, pengakuan hak masyarakat, atau bentuk tanggung jawab sosial lainnya. Ini proses non-yudisial yang bersifat korektif,” ujar Hartono.
FSC juga mewajibkan penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), yang mengharuskan perusahaan mendapatkan persetujuan dari masyarakat terdampak sebelum menjalankan aktivitas di wilayah mereka.
“Yang terdampak harus menjadi fokus utama. Mereka bukan hanya objek, tapi subjek dari perubahan itu sendiri,” ujarnya.
Konflik yang Dibiarkan Akan Membusuk
Sosiolog dan mantan Rektor Universitas Riau, Prof. Dr. Ashaluddin Jalil, mengelaskan konflik sosial seputar sumber daya alam adalah bagian dari proses sosial yang tak terhindarkan. Namun, menurutnya, konflik yang tidak dikelola secara adil justru berpotensi membusuk dan meninggalkan luka sosial yang dalam.
“Konflik lahir dari perebutan nilai, kekuasaan, dan sumber daya. Ketika pembangunan tidak memperhatikan kepentingan bersama, maka potensi konflik akan terus membesar,” kata Ashaluddin.
Ia mengingatkan konflik tidak hanya berdampak pada hubungan antarindividu, tetapi juga dapat memunculkan trauma kolektif yang memerlukan waktu lama untuk dipulihkan. Meski begitu, ia percaya konflik bisa menjadi titik balik menuju perbaikan.
“Jika dikelola dengan baik, konflik bisa memunculkan norma baru dan memperkuat kohesi sosial,” ujarnya.
Ashaluddin mendorong pemerintah daerah untuk membangun sistem penyelesaian konflik yang permanen dengan mengedepankan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat secara terbuka.
“Yang membedakan bukan konflik itu sendiri, tapi bagaimana kita memilih cara menyikapinya. Apakah dengan kekerasan atau dengan keadilan dan dialog,” tegasnya.
Sumber: Tribunpekanbaru.com