SMARTPEKANBARU.COM – Siang hari, Wing Antariksa dan Imelda Alini Pohan duduk sopan di depan mantan atasan mereka di PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry. Cerita upeti emas lantas terdengar.
Tanpa nostalgia, mereka mengungkap peristiwa-peristiwa terkait korupsi kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP, termasuk penyerahan kepingan emas untuk pejabat di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Wing menjabat Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT SDM 2017-2019. Sementara Imelda menjabat Corporate Secretary (Corsec) perusahaan negara tersebut.
Keduanya dihadirkan jaksa sebagai saksi untuk terdakwa eks Direktur Utama (Dirut) PT ASDP, Ira Puspadewi; eks DIrektur Perencanaan dan Pengembangan, Harry Muhammad Adhi Caksono (MAC), dan eks Direktur Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi.
“Pernah enggak saudara diminta untuk, direksi itu (diminta) patungan dimintain uang. Itu untuk dibelikan emas, dan itu akan diberikan kepada pejabat di Kementerian BUMN. Pernah enggak seperti itu?” tanya jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (24/7/2025) siang kemarin.
Tak perlu lama bagi Wing untuk mengingat peristiwa pada 2018. Ia menyebut, setelah Ira ditunjuk menjadi dirut, ia meminta jajaran direksi patungan.
Nominalnya mencapai Rp 50 juta hingga Rp 100 juta per orang. Uang yang terkumpul digunakan sebagai ucapan terimakasih ke pejabat di Kementerian BUMN.
“Saat itu yang bersangkutan menyampaikan akan memberikan emas,” ujar Wing.
Saat itu Wing menolak memenuhi permintaan Ira. Ia juga menghubungi Yusuf Hadi untuk tidak menyetor uang karena merupakan gratifikasi.
Direktur Perencanaan dan Pembangunan, Christin Hutabarat juga menolak membayar pungutan.
Meski demikian, pungutan tetap berjalan. Direktur Keuangan PT ASDP berinisial DjS disebut aktif menarik dana dari direksi.
“Saya menyampaikan per telepon pada hari libur kepada saudara Yusuf Hadi untuk tidak ikut menyetorkan uang karena itu merupakan gratifikasi,” tutur Wing.
Corsec diminta antar Emas
Menyambung dengan keterangan Wing, Imelda menceritakan bagaimana dirinya ditelepon Ira untuk menjadi kurir pengiriman emas.
Saat itu, Imelda baru menjabat Corsec di PT ASDP. Sebelumnya, ia bekerja sebagai corporate communication (Corcom) di perusahaan swasta.
“Saya diminta untuk mengantar, saya by phone oleh Bu Ira, saya telepon tapi saya tolak karena pada saat itu saya masih baru,” kata Imelda.
“Mengantar apa?” tanya jaksa KPK.
“Mengantarkan bingkisan,” jawab Imelda.
“Bingkisan apa?” timpal jaksa KPK.
“Emas,” jawab Imelda.
Menurutnya, atasannya di ASDP menjelaskan bahwa bingkisan berisi emas merupakan cara perusahaan pelat merah tersebut untuk menjaga hubungan dengan pihak ketiga.
Namun, Imelda tetap memegang prinsip dan tidak mau melaksanakan perintah itu karena takut terjerat korupsi.
Imelda juga menceritakan perintah itu kepada Wing, direktur yang merekrutnya menjadi Corsec PT ASDP.
Wing pun menjelaskan terdapat pungutan kepada direksi untuk membeli emas.
“Setelah itu, saya, karena Pak Wing yang merekrut saya waktu interview, saya sampaikan saya hampir mau resign pada saat itu,” jelas Imelda.
Terendus KPK
Wing mengaku, sebenarnya dirinya tidak mengetahui apakah pungutan itu berlanjut hingga pemberian emas pada pejabat Kementerian BUMN.
Namun, keraguannya akhirnya terjawab saat Ira tiba-tiba mengumpulkan seluruh jajaran direksi PT ASDP setelah acara buka bersama pada 2018.
Ira meminta semua bawahannya mematikan handphone dan mengumpulkannya di satu tempat.
Pertemuan ini menjadi salah satu materi yang didalami jaksa KPK dan Hakim Anggota Andi Saputra.
“Dan di situ disampaikan oleh Bu Ira bahwa (pejabat) kementerian itu (BUMN) minta agar ASDP lebih rapi karena ‘bingkisan emas’ sudah terendus oleh KPK,” ujar Wing.
“Dan kami diminta untuk mematikan handphone untuk menghindari adanya rekaman atau penyadapan,” tambahnya.
Pengacara Bantah Pungutan Rp 50 Juta
Sementara itu, kusa hukum Ira, Harry, dan Hadi, Soesilo Aribowo membantah kliennya memungut dana Rp 50 juta hingga Rp 100 juta dari jajaran direksi.
“Fakta yang ada, tidak ada pengumpulan uang sampai Rp 50 juta per orang. Setahu saya seperti itu,” ujar Soesilo.
Menurut Soesilo, penyerahan emas kepada pejabat Kementerian BUMN memang terjadi. Namun, menurutnya, pemberian itu bukan gratifikasi maupun suap, melainkan satu bentuk empati karena pejabat tersebut sakit.
“Itu bukan bagian dari gratifikasi atau penyuapan, saya kira karena waktu itu empati saja kepada orang yang waktu itu sakit. Yang ada, beliau (pejabat deputi BUMN) itu sudah meninggal,” ujar Soesilo.
“Waktu itu dia sakit sangat berat, saya kira. Tidak ada take and give dengan pemberian itu, dapat empati apa itu tidak ada. Itu murni,” tambahnya.
Soesilo juga menyebut, pemberian emas itu tidak terkait kasus KSU dan akuisisin PT JN.
Ira Klaim Faktor Kemanusiaan
Di pengujung persidangan, Ira akhirnya buka mulut. Ia tidak membantah terdapat peristiwa penyerahan emas ke pejabat BUMN.
Menurut Ira, peristiwa tersebut terjadi pada pertengahan 2018. Kala itu, seorang Deputi di Kementerian BUMN menderita sakit kanker dan kondisinya cukup parah.
Beberapa waktu kemudian, deputi tersebut tidak aktif menjabat dan akhirnya meninggal dunia.
“Saya lupa kapan, tapi beliau meninggal dunia,” ujar Ira.
Ia lalu mengeklaim pemberian emas ke pejabat Kementerian BUMN itu merupakan satu bentuk empati yang dilandasi kemanusiaan.
“Itu alasannya adalah faktor kemanusiaan dan kami ingin partisipasi itu. Kemudian jadi kami tidak ada harapan apapun terhadap pemberian itu,” kata Ira.
Kompas.com telah menghubungi Juru Bicara Kementerian BUMN, Putri Viola untuk meminta konfirmasi terkait peristiwa ini. Namun, ia belum juga merespons.
Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa tiga mantan direktur PT ASDP melakukan korupsi yang merugikan negara Rp 1,25 triliun.
Mereka adalah eks Direktur Utama PT ASDP Ferry, Ira Puspadewi, mantan Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP Ferry, Yusuf Hadi, dan mantan Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP Ferry, Harry Muhammad Adhi Caksono.
Korupsi dilakukan dengan mengakuisisi PT JN, termasuk kapal-kapal perusahaan itu yang sudah rusak dan karam.
“Berdasarkan laporan uji tuntas engineering (due diligence) PT BKI menyebut, terdapat 2 unit kapal yang belum siap beroperasi, yaitu KMP Marisa Nusantara karena dari status, kelas, dan sertifikat perhubungan lainnya telah tidak berlaku, dan KMP Jembatan Musi II karena kapal saat inspeksi dalam kondisi karam,” ujar jaksa.
Akibat perbuatan mereka, negara mengalami kerugian Rp 1,25 triliun dan memperkaya pemilik PT JN, Adjie Rp 1,25 triliun.
Sumber : Kompas.com