SMARTPEKANBARU.COM – Guru Besar FHUI, Satya Arinanto, balik melontarkan pertanyaan kepada mahasiswanya, Muhammad Fawwaz, yang menjadi pemohon perkara uji materi UU TNI dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Senin (21/7/2025).
Pertanyaan balik itu disampaikan Satya usai disebut berbeda keterangannya saat menjadi ahli DPR-RI, dengan materi yang dia ajarkan di kelas.
Awalnya Satya melakukan klarifikasi, karena merasa tidak pernah merasa mengajarkan hal yang bertentangan dengan keterangannya dalam sidang tersebut.
“Saya klarifikasi dulu ya, saya juga nggak hafal mereka ikut kuliah atau enggak, karena banyak sekali mungkin yang saya pernah mengajar. Tapi yang pernah ikut kuliah saya juga bukan Anda satu-satunya ya, di tempat lain juga ada,” ucapnya.
“Seingat saya, kalau di HAM dan good governance, saya tidak pernah mengajar teori perundang-undangan,” kata dia lagi.
Satya kemudian menekankan kepada pemohon agar tidak membuat narasi seolah-olah dia menjadi dua orang yang berbeda saat menjadi ahli DPR, dan ketika menjadi seorang pengajar.
“Jadi yang materi tadi (terkait legal standing), jangan seolah-olah Anda (menyebut) saya pernah mengajar, terus Anda balik di sini bahwa Anda pernah (diajar), saya pernah mengajar terus Anda balik (menyebut keterangan berbeda) di sini, bahwa saya pernah mengajarkan partisipasi publik,” tutur Satya.
Dia kemudian menantang kepada Fawwaz untuk menunjukkan materi perkuliahan yang disebut bertentangan dengan keterangannya di persidangan, terutama terkait dengan keterangan kedudukan hukum pemohon dalam uji materi UU TNI.
“Saya nggak pernah mengajarkan itu, boleh dicek mana materi saya, tunjukkan dalam Majelis Hakim yang bahwa saya mengajarkan partisipasi publik, bahwa saya mengajar ada,” kata dia.
Namun Satya kemudian mengingat pernah mengajar soal peraturan perundang-undangan domestik dan HAM dan good governance dan meminta Fawwaz menganalisa dan mempresentasikan di kelas yang dia ampu.
“Kalau saya (mengajar) aspek HAM ya, salah satu dari konvensi-konvensi internasional atau perundang-undangan. Jadi saya tidak mengajarkan, tapi Anda presentasi pada waktu itu,” tutur Satya.
Dalam sidang itu, Fawwaz sebelumnya mempertanyakan pendapat Satya yang menyebut para pemohon uji formal UU TNI tidak memiliki kedudukan hukum alias legal standing dalam perkara itu.
Karena menurut Fawwaz, Satya mengajarkan mata kuliah tentang Hak Sipil dan Politik yang membenarkan legal standing masyarakat dalam sebuah pengujian formal sebuah undang-undang.
“Kami hanya bertanya-tanya ketika partisipasi para pemohon disebut tidak memiliki legal standing, karena dianggap tidak bertautan langsung, berbeda dengan mungkin yang saat itu Prof ajarkan saat kuliah,” ucap Fawwaz.
Sebagai informasi, uji formal UU TNI yang digelar di MK ini menyinggung proses pembentukan beleid yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuannya.
Para pemohon pada pokoknya mempersoalkan pelanggaran sejumlah asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Asas dimaksud di antaranya adalah asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; asas dapat dilaksanakan; asas kedayagunaan dan kehasilgunaan; asas kejelasan rumusan; serta asas keterbukaan.
Padahal, asas keterbukaan berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU P3 menegaskan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, bersifat transparan dan terbuka.
Sebab itu, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Sumber : Kompas.com