SMARTPEKANBARU.COM-Fenomena rombongan jarang beli (rojali) yang marak di pusat perbelanjaan ternyata memberi keuntungan bagi sektor ritel makanan dan minuman (F&B).
Rojali merujuk pada kebiasaan orang-orang yang datang ke mal atau gerai hanya untuk melihat-lihat tanpa melakukan pembelian. Namun, menurut Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, omzet ritel F&B justru mengalami kenaikan karena pengunjung biasanya merasa lapar dan haus setelah berkeliling mal.
Sehingga masyarakat pasti mendatangi gerai minuman, jajanan, atau kafe yang ada di mal.
“Yang paling untung rojali ini F&B. Makanya, retail F&B kami naik 5-10 persen. Karena orang nongkrong pasti lihat, muter-muter haus, minum,” ujar Budihardjo di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (23/7/2025). “Kalau di kafe mesti beli minimal. Dan ya kami juga datang dong, kalau es teh-nya habis jadi datangin lagi ditawar-tawarin lagi,” ungkap Budihardjo.
Selain itu, mal saat ini juga menjadi salah satu tempat untuk bekerja dengan sistem work from anywhere (WFA).
Yang mana warga langsung menuju gerai F&B tertentu untuk mengerjakan pekerjaan dari sana. Hal ini yang menyebabkan ritel makanan dan minuman di mal mendapat keuntungan lebih. “Jadi sebenarnya saat ini memang ada rojali, tapi memang itu dipengaruhi juga dengan work from anywhere. Itu memang jadi satu customer behavior yang baru,” tutur Budihardjo.
Ia pun mengakui bahwa penjualan secara langsung di ritel pakaian menjadi yang paling terdampak dari fenomena rojali. Masyarakat lebih banyak berbelanja pakaian secara online dan menjadikan pakaian yang ada di toko sebagai referensi. Sehingga para pengusaha ritel juga menyiapkan toko online sebagai alternatif untuk menjaga penjualan.
Rojali mulai marak sejak pandemi
Direktur Bina Usaha Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Septo Soepriyatno mengungkapkan, fenomena rojali sebenarnya sudah cukup lama terjadi, yakni sejak pandemi Covid-19 lalu yang mengubah kebiasaan berbelanja masyarakat.
“Behavior-nya berubah. Dari yang biasanya secara offline, kemudian juga ada kecenderungan masyarakat yang tadinya di rumah ingin juga berinteraksi sosial. Makanya pusat pembelanja konsepnya sudah mulai berubah. Yang tadinya buat belanja sekarang sudah mulai menyiapkan spot-spot terkait dengan rekreasi, hiburan, experience, journey, sampai juga interaksi sosial,” jelas Septo pada Rabu.
“Makanya sekarang kita lihat tadi bareng-bareng di ITC Mangga Dua, itu sudah mulai berubah. Lantai dasarnya sudah banyak F&B. Tadi benar yang disampaikan Pak Budi, memang yang diuntungkan sekarang adalah F&B karena masyarakat rindu untuk bergaul, berinteraksi sosial,” jelasnya.
Sehingga menurut Budi, bukan berarti kaum rojali sama sekali tidak melakukan transaksi pembelian.
Ia bilang, rojali tetap membeli makanan dan minuman di mal, sementara untuk barang lain dibeli secara online.
“Jadi bukan berarti rojali tidak beli, belanja. Memang tidak belanja produk (langsung). Mungkin mereka hanya melihat-lihat di showroom (mal). Tapi check-out-nya di online,” ungkap Septo.
“Yang terjadi di mal apa? Yang paling banyak adalah masyarakat datang pengen berinteraksi sosial kemudian pengen berkumpul dengan keluarga, jalan-jalan, (lihat) oh barang bagus, check-out di online. Dia makan, belanja, nonton. Hal-hal seperti yang banyak terjadi,” tambah dia.
Masyarakat suka belanja di luar negeri
Sementara itu, Sistem Deputi Perdagangan Dalam Negeri, Perlindungan Konsumen, dan Tertib Niaga Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ismariny mengungkapkan, orang Indonesia ternyata lebih senang berbelanja di luar negeri.
Menurut Ismariny, pedagang di luar negeri justru hafal dengan tabiat orang Indonesia yang senang belanja.
“Orang Indonesia itu kita dikenal sekali, senang belanja di luar negeri. Kalau kita naik haji, umrah, itu pedagangnya tahu, kalau orang Indonesia, mereka pasti (menyambut) ramah banget. Karena kita senang sekali belanja,” ujar Ismariny dalam konferensi pers Hari Retail Modern Indonesia (Harmoni) di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu.
Merujuk perilaku belanja ini, ia mendorong agar himpunan pengusaha ritel memperbanyak program diskon dan belanja untuk menarik minat belanja di dalam negeri.
Ismariny bilang, belanja di dalam secara tidak langsung juga akan memperkuat ketahanan industri nasional dan produk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Meski begitu, ia mengakui daya beli masyarakat sedang turun. Kepada industri ritel, Ismariny menyarankan supaya menyesuaikan dengan kondisi pasar saat ini. Misalnya, mal menggelar program pameran kuliner, program live show, program diskon, dan sebagainya.
Dengan begitu, masyarakat tetap terdorong untuk melakukan pembelian produk ritel.
“Karena memang pasarnya itu sudah kita ciptakan sama-sama dengan kita belanja. Tapi teman-teman retail ini bisa kemudian bertransformasi untuk bisa menyesuaikan dengan pasar yang ada,” tambahnya.
Sumber : Kompas.com