SMARTPEKANBARU.COM- Berlarutnya aksi demonstrasi masyarakat yang berlangsung sejak Kamis (28/8/2025) dan hari ini, Jumat (29/8/2025) berisiko membuat Indonesia kehilangan momentum pemulihan ekonomi.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, gejolak demonstrasi yang meningkat mencerminkan keresahan publik terhadap kebijakan pemerintah.
Menurutnya, masalah utama justru bukan pada aksi protesnya, melainkan pada gagalnya pemerintah merespons berbagai tuntutan masyarakat.
Bahkan pemerintah terkesan denial terhadap berbagai tuntutan masyarakat termasuk soal reformasi perpajakan dan evaluasi efisiensi anggaran.
“Kondisi ekonomi berisiko memburuk karena ketidakpuasan masyarakat tidak direspon serius oleh pemerintah,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
Menurutnya, aksi demonstrasi yang memanas hanya menjadi puncak gunung es dari persoalan ekonomi yang lebih dalam. Investor membaca sinyal risiko dari masalah fundamental yang belum terselesaikan, bukan sekadar dari keramaian aksi unjuk rasa.
“Timbul distrust bukan dari aksi demonya tapi dari kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah,” kata Bhima.
Bhima mengingatkan, momentum pemulihan ekonomi global bisa terlewatkan jika daya beli masyarakat yang rendah bertemu dengan meningkatnya kemarahan publik kepada pemerintah. Dalam kondisi tersebut, peluang strategis Indonesia seperti menarik relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia untuk menghindari tarif resiprokal Amerika Serikat (AS), berpotensi hilang karena kondisi sosial dan politik yang tidak stabil.
Dalam kondisi tersebut, peluang strategis Indonesia seperti menarik relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia untuk menghindari tarif resiprokal Amerika Serikat (AS), berpotensi hilang karena kondisi sosial dan politik yang tidak stabil.
Oleh karenanya, Bhima memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini akan sulit mencapai target 5,2 persen.
“Hampir sulit ekonomi di sisa tahun tumbuh diatas 5 persen. Kita masuk fase ultimate storm,” tuturnya.
Sumber : Kompas.com