SMARTPEKANBARU.COM- katan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyoroti pentingnya perhatian serius terhadap kesehatan mental remaja di Indonesia. Dalam webinar bertajuk Kesehatan Mental pada Remaja yang digelar Selasa (19/8/2025), para ahli menekankan perlunya dukungan keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial untuk membangun generasi sehat mental. Ketua Umum IDAI, Dr. dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp.Kardio(K), mengingatkan bahwa data WHO menunjukkan satu dari tujuh remaja berusia 10–19 tahun mengalami gangguan mental, termasuk depresi, kecemasan, atau gangguan perilaku.
“Problem-problem remaja seperti ini butuh dukungan keluarga yang solid dan lingkungan yang mendukung,” kata Piprim dalam keterangannya. Ia menambahkan, faktor beban akademik, bullying, hingga pengaruh media sosial sering memperburuk kondisi kesehatan mental remaja. “Gangguan mental pada remaja bisa berlanjut hingga dewasa bahkan usia tua. Jangan sampai diremehkan sebagai sekadar masalah pubertas,” tegasnya.
Remaja kelompok rentan
Dalam pemaparan materi, dr. Braghmandita Widya Indraswari, M.Sc, Sp.A, Subsp.T.K.P.S(K), dari Satgas Remaja IDAI, menjelaskan bahwa masa remaja merupakan fase transisi yang unik dan rentan. Menurutnya, remaja ditandai perubahan cepat secara fisik, kognitif, dan sosial. “Di waktu yang singkat, sekitar 8–9 tahun, terjadi perubahan yang sangat cepat. Hal ini membuat remaja menjadi kelompok yang rentan,” kata Braghmandita. WHO mendefinisikan remaja berusia 10–19 tahun, sedangkan di Indonesia batasan hukum menetapkan 10–18 tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah remaja Indonesia mencapai sekitar 19,2 persen populasi, atau sekitar 44 juta jiwa.
Tanda-tanda yang sering diabaikan
Braghmandita mengingatkan bahwa masalah mental pada remaja sering disalahartikan atau bahkan dinormalisasi. “Misalnya, anak yang murung dianggap sekadar malas, atau remaja yang agresif hanya diberi label nakal. Padahal itu bisa tanda awal gangguan mental,” ujarnya. Gangguan mental yang sering muncul antara lain kecemasan, depresi, perilaku menyakiti diri sendiri, hingga keinginan bunuh diri.
Hasil survei INAMHS 2021 menunjukkan prevalensi masalah kesehatan mental pada remaja mencapai 30–35 persen.
Peran keluarga dan sekolah
Braghmandita menekankan bahwa keluarga harus menjadi ruang aman bagi remaja. “Keluarga harus menjadi tempat anak bercerita tanpa takut atau malu. Orang tua perlu mengenali perubahan perilaku anak, seperti penurunan prestasi, menarik diri, atau tiba-tiba murung,” katanya. Selain keluarga, sekolah juga memegang peranan penting. Guru dan konselor diharapkan mampu mendeteksi dini perubahan perilaku siswa. “Sekolah harus menciptakan lingkungan inklusif, bebas bullying, dan memberi rasa aman bagi remaja,” ujar Braghmandita.
Perlunya klinik remaja Dalam sesi tanya jawab, sejumlah peserta menyoroti perlunya layanan kesehatan khusus remaja. Menanggapi hal ini, Braghmandita menilai klinik remaja memang dibutuhkan. “Interaksi dengan pasien remaja tidak mudah. Mereka butuh ruang yang lebih privat dan pendekatan berbeda,” ujarnya.
IDAI menegaskan bahwa kesehatan mental remaja adalah investasi jangka panjang. “Investasi kesehatan mental merupakan investasi masa depan,” kata Braghmandita.
Sumber : Kompas.com