SMARTPEKANBARU.COM – Forest bathing atau yang dikenal dengan istilah shinrin-yoku bukan sekadar tren relaksasi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa aktivitas yang melibatkan kontak langsung dengan alam ini memiliki manfaat signifikan bagi kesehatan fisik dan mental. Di Indonesia, praktik ini mulai dikenal luas, salah satunya lewat edukasi dari pakar medis. Dosen Fakultas Kedokteran IPB University, dr. Widya Eka Nugraha, MSiMed, menjelaskan bahwa aktivitas seperti memeluk pohon memang bisa membantu meredakan stres ringan, namun hanya jika dilakukan sebagai bagian dari forest bathing. “Sebagian besar penelitian terkait pengaruh pohon terhadap stres dilakukan melalui setting forest bathing, bukan hanya dengan memeluk pohon semata,” ujar Widya. Ia menegaskan, hingga saat ini belum cukup bukti ilmiah yang mendukung manfaat memeluk pohon secara terpisah dari praktik menyeluruh terapi alam tersebut.
Apa itu forest bathing?
Dalam konteks internasional, shinrin-yoku atau forest bathing berasal dari Jepang dan secara harfiah berarti “mandi hutan”. Aktivitas ini bukan olahraga atau pendakian, melainkan bentuk terapi pasif yang melibatkan semua pancaindra. Dilansir dari Jurnal Environmental Health and Preventive Medicine, shinrin-yoku berarti bathing in the forest atmosphere, atau menyerap suasana hutan melalui pancaindra. Ini bukan aktivitas fisik seperti jogging atau hiking, melainkan menikmati alam dengan melihat, mencium aroma pepohonan, mendengar suara burung, menyentuh batang pohon, hingga menghirup udara bersih. Praktik ini kemudian berkembang menjadi pendekatan medis preventif berbasis bukti ilmiah dan dikenal dengan nama Forest Medicine, sebuah cabang baru dalam ilmu kedokteran alternatif dan preventif.
Manfaat forest bathing bagi kesehatan
Penelitian yang dilakukan di Jepang sejak 2005 mencatat berbagai dampak positif dari forest bathing terhadap tubuh manusia. Berikut beberapa manfaat utamanya:
- Menurunkan tekanan darah dan detak jantung: Efek ini menunjukkan potensi pencegahan terhadap hipertensi dan penyakit jantung.
- Meningkatkan sistem kekebalan tubuh: Termasuk aktivitas sel pembunuh alami (natural killer cells) dan kadar protein anti-kanker dalam tubuh.
- Mengurangi hormon stres: Seperti kortisol, adrenalin, dan noradrenalin.
- Menstabilkan sistem saraf otonom: Dengan meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis dan menurunkan simpatis, menghasilkan rasa rileks dan tenang Meningkatkan kualitas tidur dan suasana hati: Termasuk menurunkan skor kecemasan, depresi, kelelahan, dan kebingungan dalam uji Profile of Mood States (POMS).
- Meningkatkan hormon adiponektin dan DHEA-S: Yang berperan dalam metabolisme dan anti-aging.
- Berpotensi mendukung rehabilitasi medis dan mencegah Covid-19: Melalui penguatan imunitas dan pengelolaan stres.
Widya menambahkan bahwa efek tersebut kemungkinan besar terjadi berkat kombinasi stimulasi sensorik, pelepasan hormon oksitosin, serta paparan senyawa alami dari pohon seperti phytoncides.
“Forest bathing cocok untuk stres ringan hingga sedang, seperti kelelahan emosional, kecemasan ringan, atau burnout,” jelasnya.
Bukan pengganti pengobatan
Meski menjanjikan manfaat besar, Widya mengingatkan bahwa forest bathing bukan pengganti terapi medis untuk gangguan kejiwaan berat. Praktik ini sebaiknya dilihat sebagai pendekatan holistik dalam menjaga kesehatan mental, berdampingan dengan olahraga, meditasi, dan dukungan profesional. “Durasi forest bathing bervariasi, mulai dari 50 menit hingga 24 jam tergantung kebutuhan. Yang penting adalah konsistensi dan pendekatan menyeluruh,” kata dr Widya.
Peneliti Jepang juga menekankan urgensi terapi berbasis alam ini, terutama dalam masyarakat urban yang rawan terhadap gangguan kesehatan mental akibat stres dan gaya hidup yang padat. Bahkan, Jepang mencatat fenomena karoshi atau kematian akibat kerja berlebihan yang semakin menguatkan peran penting shinrin-yoku sebagai solusi preventif.
Sumber : Kompas.com.