SMARTPEKANBARU.COM- Upaya pemerintah untuk menjinakkan harga beras tampaknya belum membuahkan hasil maksimal. Meski berbagai langkah sudah ditempuh, harga beras di sejumlah daerah masih bertahan tinggi, bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET). Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Khudori, menilai harga beras masih berfluktuasi dan cenderung persisten tinggi.
Di beberapa provinsi memang sudah mulai turun, tapi di daerah lain justru naik.
Secara umum harga masih bertahan di level tinggi. “Harga beras masih fluktuatif. Ada yang naik ada yang turun.
Bahwa di provinsi tertentu harga beras mulai turun benar adanya. Namun, di sejumlah provinsi lainnya harga cenderung naik,” ujar Khudori kepada Kompas.com, Sabtu (30/8/2025).
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), pada pekan ketiga Agustus 2025 harga rata-rata nasional beras medium di Zona I tercatat Rp 14.005 per kilogram dan premium Rp 15.437 per kilogram.
Angka ini hanya sedikit berbeda dengan pekan sebelumnya, namun jauh di atas HET yang ditetapkan, yakni Rp 12.500 per kilogram untuk medium dan Rp 14.900 per kilogram untuk premium. Kondisi serupa juga terjadi di Zona II. Harga beras medium Rp 14.872 per kilogram dan premium Rp 16.618 per kilogram, lebih tinggi dari HET masing-masing Rp 13.100 per kilogram dan Rp 15.400 per kilogram. Sementara di Zona III, harga beras medium mencapai Rp 18.899 per kilogram dan premium Rp 20.709 per kilogram, padahal HET hanya Rp 13.500 per kilogram untuk medium dan Rp 15.800 per kilogram untuk premium. Khudori menilai ada tiga faktor utama penyebab harga beras sulit turun, yakni operasi pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang belum efektif, Bulog masih berburu gabah melalui mitra maklun, serta surplus produksi yang menurun. “Mengapa harga beras di ketiga zona masih persisten tinggi? Setidaknya ada tiga penyebab, operasi pasar belum efektif, Bulog masih berburu gabah di pasar melalui mitra maklun, dan surplus produksi turun. Ketiga faktor saling terkait dan saling memperkuat satu sama lain,” paparnya.
Sejak kembali digelontorkan pada 14 Juli lalu hingga 27 Agustus 2025, Bulog baru menyalurkan 274.972 ton beras SPHP. Dari jumlah tersebut, 93.780 ton disalurkan sejak pertengahan Juli, dengan rata-rata distribusi 2.084 ton per hari. Meski dalam beberapa hari terakhir penyaluran harian mencapai 7.000 ton, angka itu dinilai masih terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan pasar yang sedang “lapar” beras. Ia memandang perlunya langkah-langkah lebih tegas. Pertama, operasi pasar harus dipusatkan pada pedagang di pasar induk yang memiliki jaringan distribusi luas. “Pertanyaannya, apakah tersedia resep yang mujarab untuk mengendalikan harga? Tentu ada. Dengan segala kelebihan-kekurangan, termasuk risiko yang mungkin terjadi,“ bebernya.
“Caranya menggandeng pedagang di pasar, termasuk pedagang di pasar induk. Pedagang pasti memiliki jejaring pemasaran. Jejaring yang luas memungkinkan penyaluran operasi pasar berjumlah besar dan cepat,” lanjut Khudori. Kedua, operasi pasar harus dikombinasikan dengan penyaluran tetap, sebagaimana pernah dilakukan melalui program Raskin. Distribusi tetap dalam jumlah besar dinilai lebih efektif menurunkan harga karena menekan permintaan di pasar.
Ketiga, Bulog harus menjamin kualitas beras SPHP maupun bantuan pangan. Stok lama yang berpotensi menurun mutu perlu direproses agar layak konsumsi.
Saat ini Bulog memiliki stok beras 3,93 juta ton, sebagian besar berupa cadangan beras pemerintah (CBP). Jika target penyaluran SPHP 1,3 juta ton dan bantuan pangan 366.000 ton tercapai, maka stok akhir tahun diperkirakan masih tersisa 2,68 juta ton. Jumlah tersebut dipandang cukup untuk menopang pasar, asalkan distribusinya dilakukan cepat dan tepat. Lebih jauh, Khudori menyebut pemerintah tidak bisa mengendalikan harga beras sendirian. Jika pelaku usaha berhenti beroperasi karena takut, sementara masyarakat panik akibat pasokan menipis, situasi bisa memburuk.
Sumber : Kompas.com