SMARTPEKANBARU.COM – Desakan reformasi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) semakin menguat pasca demonstrasi besar pada Agustus 2025.
Publik menuntut perubahan nyata, bukan sekadar langkah reaktif yang bersifat sementara.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menekankan pentingnya Polri mengedepankan pendekatan humanis dalam mengamankan ruang publik.
Sementara itu, kalangan masyarakat sipil menilai reformasi DPR belum menyentuh akar persoalan karena masih terjebak dalam kendali partai politik.
Polri diminta tinggalkan cara represif
Komisioner Kompolnas Choirul Anam menegaskan, Polri harus mengubah pendekatan ketika berhadapan dengan masyarakat, khususnya saat unjuk rasa.
Menurut dia, pola masyarakat yang kini semakin aktif berekspresi tidak bisa lagi dijawab dengan kekerasan aparat.
“Basisnya adalah pendekatan yang humanis. Kata kuncinya itu. Karena enggak mungkin ruang terbuka dan lain sebagainya dengan pendekatan represif, dengan pendekatan kekerasan,” kata Anam kepada Kompas.com, Minggu (7/9/2025).
Anam menilai aturan kepolisian di lapangan harus lebih profesional, terukur, dan tetap menjunjung kemanusiaan.
Menurutnya, perubahan pola masyarakat yang semakin aktif berekspresi harus segera direspons dengan penyesuaian sikap aparat.
“Pola perubahan masyarakat inilah yang harus segera direspons dengan mempertajam berbagai aturan agar pelaksanaan di lapangan itu semakin humanis, semakin profesional, dan terukur. Kalau tidak ya susah,” ucapnya.
Anam menekankan, pembenahan Polri tidak bisa berjalan sendiri.
Masyarakat perlu mengekspresikan pendapat dengan damai, sementara elite politik juga harus membuka diri terhadap kritik.
“Di elite kekuasaan ya harus terbuka terhadap berbagai masukan kritikan dan sebagainya, di ruang masyarakat gunakan hak Anda untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan cara yang damai. Di ruang aparat kepolisian bertindaklah secara humanis dan profesional. Itu kuncinya. Nah semua pihak ya berbenah diri,” kata Anam.
Jangan sembarangan saat penangkapan
Kompolnas menyoroti masih adanya perlakuan tidak pantas aparat terhadap warga.
Anam mencontohkan, masih adanya praktik memaksa orang yang diamankan melepas pakaian hingga bertelanjang dada.
“Ketika situasi menghadapi chaotic seperti beberapa hari kemarin ya tetap polisi harus berpegang teguh pada SOP, prinsip humanis. Salah satu yang penting misalnya ya menahan diri, ya enggak bisa misalnya di beberapa wilayah, misalnya, diamankan terus disuruh telanjang dada gitu, itu enggak bisa, itu enggak boleh,” ujarnya.
Selain itu, Anam meminta kepolisian meningkatkan transparansi informasi bagi keluarga serta membuka akses bantuan hukum bagi warga yang ditangkap.
Dengan demikian, tidak boleh ada lagi warga kesulitan mengakses atau mendapatkan informasi ketika ada anggota keluarganya yang ditangkap.
“Itu yang juga menjadi catatan ya, apalagi yang terus maju sebagai tersangka, diproses hukum dan sebagainya, ya akses terhadap pendampingan hukumnya juga harus dibuka,” pungkasnya.
Sebelumnya, Gerakan Nurani Bangsa yang digagas sejumlah tokoh senior bangsa juga mendesak Presiden Prabowo Subianto memerintahkan evaluasi kepemimpinan dan kebijakan internal Polri.
Pesan itu dibacakan Alissa Wahid di Jakarta, Rabu (3/9/2025).
DPR jangan hanya ambil langkah reaktif
Desakan reformasi juga ditujukan kepada DPR.
Namun, menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, langkah yang ditempuh DPR sejauh ini masih bersifat reaktif.
Pemangkasan tunjangan, moratorium kunjungan kerja, hingga penonaktifan sejumlah anggota DPR yang membuat kontroversi disebut belum menyentuh akar persoalan.
“Komitmen hingga keputusan dari parpol, DPR, hingga presiden sejauh ini bisa kita kategorikan sebagai langkah reaktif untuk meredakan situasi. Jadi sebagai langkah reaktif, keputusan menghapus tunjangan perumahan dan juga penyesuaian tunjangan lain, moratorium kunker, kita bisa memahami,” ujar Lucius.
Namun, dia mengingatkan bahwa DPR, partai politik, dan Presiden tidak boleh berhenti pada langkah tersebut.
“Setelah bereaksi untuk menenangkan situasi, DPR, parpol, dan Presiden tak boleh merasa puas, lalu menganggap semuanya sudah teratasi,” katanya.
Kritik DPR tunduk ke partai Lucius menilai, akar persoalan ada pada kegagalan DPR menjalankan fungsi sebagai representasi rakyat.
Dominasi partai politik membuat fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan tak berjalan semestinya.
“Dalam praktiknya, fungsi mendasar sebagai representasi rakyat itu semacam dilupakan oleh DPR. Itu bukan sekadar kekhilafan sesaat, tetapi dibuat melalui rekayasa sistem politik, sistem demokrasi yang dituangkan dalam UU Politik, yakni UU Parpol, UU Pemilu, UU MD3,” jelas Lucius.
Menurut Lucius, posisi rakyat di DPR semakin tersisih karena adanya sistem “recall” anggota oleh partai, dan mekanisme pengambilan keputusan yang sepenuhnya dikendalikan fraksi.
“Tak ada sikap pribadi anggota yang bisa menghalangi keinginan partai di DPR. Ya jadinya sia-sia saja punya wakil dari berbagai daerah pemilihan, tetapi yang menentukan keputusan akhir tetap saja hanya ketua parpol,” ucapnya.
Lucius menambahkan, karakter partai politik yang oligarkis dan anti perubahan memperparah kondisi di parlemen saat ini.
“Masalah DPR yang kita kritik belakangan ini sesungguhnya adalah masalah ketidakpedulian parpol pada rakyat dan bangsa. Parpol tak menghendaki perubahan, tak menginginkan anggota DPR yang secara sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat,” ujarnya.
Perlu revisi UU Politik
Oleh karena itu, Lucius menegaskan reformasi DPR seharusnya diarahkan pada perubahan sistem dan merevisi aturan yang mengekang peran wakil rakyat.
Menurutnya, perlu ada penataan ulang tugas dan fungsi DPR beserta alat kelengkapannya dengan membatasi kendali parpol atas kerja-kerja mereka.
“UU MD3 harus dirubah untuk memperkuat DPR sebagai lembaga representasi rakyat bukan lembaga mainan parpol, apalagi mainan seseorang yang merasa bisa mengendalikan DPR,” tegasnya.
Lucius menambahkan, reformasi DPR hanya akan berhasil jika parpol juga bersedia berbenah.
Tanpa perubahan di tubuh partai, DPR akan tetap menjadi lembaga yang jauh dari rakyat.
“Penonaktifan beberapa anggota DPR adalah salah satu bukti parpol kita yang tak menyadari kesalahannya dan gemar melempar kesalahan pada kader saja. Seharusnya kesalahan kader harus diikuti dengan tanggung jawab parpol untuk mengakui kesalahan mereka merekrut kader, mengawasi kader di parlemen,” pungkasnya.
Janji DPR berbenah
Sebagai informasi, di tengah banjir kritik dari masyarakat, pimpinan DPR menyampaikan janji melakukan pembenahan.
Ketua DPR Puan Maharani bahkan berkomitmen memimpin langsung transformasi kelembagaan.
“Saya sendiri yang akan memimpin reformasi DPR,” ujarnya, Kamis (4/9/2025).
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan langkah awal yang diambil untuk menjawab tuntutan rakyat.
Beberapa di antaranya adalah penghentian tunjangan perumahan, moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, pemangkasan fasilitas anggota, serta penonaktifan anggota yang menuai kontroversi.
“Keputusan ini diambil DPR RI untuk merespons aspirasi masyarakat, memperbaiki diri menjadi lembaga yang inklusif, dan mengembalikan kepercayaan publik,” ujar Dasco, Jumat (5/9/2025).
Dasco menambahkan, langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik sekaligus menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan efisien.
Sumber : Kompas.com