SMARTPEKANBARU.COM – Kasus henti jantung (cardiac arrest) pada atlet atau usia muda bisa terjadi, bahkan pada mereka yang tampak sehat dan rutin berolahraga.
Menurut dr. Hasjim Hasbullah, Sp.JP, FIHA, AIFO-K, dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah, henti jantung bisa terjadi tanpa gejala dan bahkan pada orang yang terlihat bugar.
Dalam beberapa kasus, atlet yang sedang berlatih atau bertanding tiba-tiba kolaps dan tidak sadarkan diri. Kondisi ini sering mengejutkan karena tidak ada gejala sebelumnya, padahal penyebabnya bisa berasal dari gangguan jantung yang tidak terdeteksi.
“Banyak sekali di berita, orang yang sehat-sehat saja tiba-tiba meninggal,” ujar dr. Hasjim dalam acara Penerimaan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) edukasi basic life support Siloam Hospitals, di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Adapun henti jantung ditandai dengan tidak terabanya nada atau pernapasan yang terganggu atau tersengal-sengal, yang merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Risiko penyakit jantung pada usia muda Aritmia dan kardiomiopati jadi penyebab tersembunyi
Henti jantung pada usia muda umumnya dipicu oleh gangguan pada sistem kelistrikan jantung atau kelainan otot jantung. Menurut dr. Hasjim, penyebab henti jantung pada usia muda umumnya berhubungan dengan gangguan irama jantung (aritmia) atau kelainan otot jantung (kardiomiopati). Kedua kondisi ini bisa berlangsung tanpa gejala dan baru tampak ketika seseorang melakukan aktivitas fisik berat.
“Selain penyakit jantung koroner, banyak penyakit lain, seperti penyakit aritmia, penyakit kardiomiopati,” jelas dr. Hasjim.
Apabila seseorang melakukan aktivitas berat, kerja jantung meningkat drastis. Bila ada kelainan tersembunyi, kondisi ini bisa memicu gangguan irama yang membuat jantung berhenti mendadak.
“Jadi kita tidak pernah tahu. Bahkan saya sendiri sebagai dokter jantung sudah menyediakan obat darurat untuk saya sendiri,” tutur dr. Hasjim.
Faktor genetik dan risiko turunan
Beberapa kasus henti jantung juga dapat disebabkan oleh faktor keturunan atau genetik. Dr. Hasjim menjelaskan, jika seseorang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung, tekanan darah tinggi, atau kolesterol tinggi, risikonya tentu akan lebih besar.
Namun, ia menekankan bahwa faktor genetik bukan satu-satunya penyebab. Pola hidup dan kebiasaan juga sangat berpengaruh.
“Jika kita ada keturunan, namun kita bisa menjaga gula kita bagus, kolesterol kita bagus, tensi kita bagus, Insyaallah kita aman,” ujarnya.
Pentingnya skrining jantung pada atlet
Untuk mencegah henti jantung mendadak, pemeriksaan atau skrining jantung sejak dini sangat dianjurkan, terutama bagi atlet atau individu dengan aktivitas fisik tinggi. Pemeriksaan ini dapat membantu mendeteksi kelainan yang tidak tampak dari luar.
“Untuk atlet-atlet, kita sebagai dokter jantung, kita selalu menganjurkan agar mereka melakukan skrining dini untuk mengetahui kondisi,” kata dr. Hasjim.
Selain pemeriksaan medis, penting juga kesiapsiagaan lingkungan olahraga dalam menghadapi situasi darurat. Edukasi mengenai Bantuan Hidup Dasar (BHD) dan ketersediaan alat Automated External Defibrillator (AED) di fasilitas olahraga dapat menjadi faktor penentu keselamatan ketika henti jantung terjadi secara tiba-tiba.
Kesadaran jadi kunci pencegahan
Dr. Hasjim menilai, kesadaran masyarakat untuk mengenali tanda-tanda awal gangguan jantung masih rendah. Padahal gejala ringan, seperti mudah lelah, nyeri dada, atau sesak napas saat berolahraga bisa menjadi tanda awal masalah jantung.
“Begitu Anda merasa mudah capek, kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di dada, sebaiknya Anda hubungi dokter jantung terdekat,” katanya.
Sebagaimana ditegaskan dr. Hasjim, menjaga jantung bukan hanya soal olahraga, tapi juga tentang mengenali kondisi tubuh dan bertindak cepat sebelum terlambat.
Sumber : Kompas.com