SMARTPEKANBARU.COM – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan, ada beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diadukan karena menyebabkan hilangnya sumber ekonomi ribuan perempuan di Indonesia. Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor menyebutkan, sumber nafkah perempuan hilang dalam berbagai bentuk, baik di laut yang tercemar reklamasi di Makassar, kebun yang dirampas untuk tambang batu andesit di Wadas, maupun air bersih yang hilang akibat kerusakan Danau Poso. “Pangan hutan yang dirampas di Merauke hingga usaha kecil yang hancur bersama penggusuran warung dan kios di Mandalika,” kata Maria saat memberikan keterangan dalam uji materi UU Cipta Kerja terkait Percepatan PSN di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (7/10/2025).
“Dan pemantauan menunjukkan lebih dari seribu perempuan kehilangan sumber ekonomi langsung. Sebuah angka yang menggambarkan pergeseran besar dari kemandirian ekonomi menuju ketergantungan yang dipaksakan,” ucap Maria lagi. Selain mencabut sumber ekonomi para pekerja perempuan, risiko kesehatan juga muncul dari PSN, seperti paparan debu dan polusi yang menyebabkan ISPA, atau atap rumah yang rusak karena gas H2S dari aktivitas geothermal di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur.
Menurut Maria, ragam bencana akibat PSN itu secara sistematis memiskinkan dan melanggengkan ketidakadilan gender lintas generasi. “Inilah wajah kekerasan yang paling sulit dipulihkan karena beroperasi melalui kebijakan resmi yang mengeklaim pembangunan tetapi sesungguhnya memperdalam luka sosial dan ekonomi perempuan serta komunitasnya,” ucap Maria. Maria juga menyebut bahwa kekerasan kultural dan sosial dilegitimasi terhadap perempuan, seperti PSN di Mbay dan Poco Leok, NTT.
Seorang perempuan pemangku adat dicap sebagai provokator, padahal posisi perempuan sebagai penjaga adat sudah ada sejak lama di tempat tersebut. “Stigma yang meruntuhkan posisi mereka sebagai penjaga adat dan merusak otoritas moral yang selama ini diakui dalam komunitas,” ucap Maria. “Dalam kondisi seperti ini, perempuan tidak hanya dibungkam secara paksa tetapi dibuat seolah-olah menyetujui sesuatu yang justru mereka lawan. Kekerasan ini juga menimbulkan fragmentasi sosial yang mendalam,” kata dia.
Sebagai informasi, permohonan ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya. Mereka mengajukan uji materi “kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN)” dan/atau frasa “PSN” dalam Ketentuan Pasal 3 huruf d; Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 Ayat (2) dan Ayat (4); Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 ayat (2) dalam Pasal 124 Angka 1. Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 36 Angka 3; Pasal 17 A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dalam Pasal 18 Angka 15; serta Pasal 34A ayat (1) dan ayat (2) dalam Pasal 17 angka 18 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Para pemohon mendalilkan bahwa UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN, menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Para pemohon berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara. Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret.
Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna. Atas dasar hal tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang digugat dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki ketentuan hukum mengikat.
SUMBER ; kompas.com