SMARTPEKANBARU.COM – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, penentuan besaran upah minimum provinsi (UMP) 2026 akan menyesuaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2024 lalu. Ia bilang, putusan MK menjadi hal utama yang akan direalisasikan dalam penghitungan upah pekerja untuk 2026. “Jadi mempertimbangkan banyak hal. Artinya ada faktor regulasi yang harus kita pertimbangkan. Kan putusan MK itu nomor satu, itu yang harus kita jalankan dulu. Baru kita lihat nanti yang terbaik untuk Indonesia seperti apa,” ujar Yassierli di Jakarta, ditulis pada Minggu (12/10/2025).
Yassierli bilang, saat ini Kemenaker sedang dalam proses pembahasan UMP. Ia mengungkapkan, sudah dilakukan dialog dengan buruh dan pengusaha soal aspirasi besaran UMP.
Di sisi lain, Dewan Pengupahan Nasional sudah mulai melakukan rapat pembahasan UMP 2026. “Dewan Pengupahan Nasional juga sudah mulai melakukan rapat-rapat. Tunggu aja (penetapannya), masih ada waktu kok,” tambah Yassierli. Putusan MK tahun 2024 soal penentuan UMP Sebelumnya, MK mewajibkan kembali pemberlakuan upah minimum sektoral (UMS) untuk penentuan UMP.
Hal ini tercantum dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024 pada 31 Oktober 2025 yang mengabulkan sebagian tuntutan sejumlah serikat pekerja soal isu ketenagakerjaan di dalam Undang-undang (UU) Ciptaker terbaru.
“Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’,” tulis MK dalam putusannya. Sebelumnya, aturan tentang pemberlakuan UMS terdapat pada UU Ketenagakerjaan yang diteken pada 2003. MK sependapat dengan gugatan yang dilayangkan kaum buruh bahwa dalam praktiknya, penghapusan UMS sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Sebab, pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda.
Penghapusan UMS dinilai justru bisa mengancam standar perlindungan pekerja, khususnya pada sektor-sektor yang sebetulnya memerlukan perhatian khusus dari negara. Oleh karena itu, MK menegaskan, UMS mesti diberlakukan lagi. Dalam putusan yang sama, MK juga mengubah sejumlah pasal dalam klaster pengupahan. Pertama, Mahkamah mengembalikan komponen hidup layak sebagai bagian tak terpisahkan dari hitungan upah yang sebelumnya dihapus UU Ciptaker.
MK meminta pasal soal pengupahan harus “mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua”. Kedua, MK juga menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah. Aturan soal dewan pengupahan juga dilengkapi MK dengan klausul bahwa dewan tersebut “berpartisipasi secara aktif’.
Ketiga, majelis hakim juga merasa perlu menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah”.
MK juga memperjelas frasa “indeks tertentu” dalam hal pengupahan sebagai “variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.” Keempat, Mahkamah juga memasukkan kembali frasa “serikat pekerja/buruh” pada aturan soal upah di atas upah minimum.
sumber ; kompas.com