SMARTPEKANBARU.COM – Dunia kini bergerak lebih cepat daripada masa kecil yang kita kenal. Anak-anak tak lagi bermain di halaman dengan tanah dan ranting, melainkan menjelajah dunia lewat layar sentuh dan algoritma.
Sebagai orangtua, banyak yang masih gagap menghadapi generasi baru, generasi yang sejak lahir sudah mengenal “swipe”, “scroll”, dan “search”. Mereka disebut Generasi Alfa, anak-anak yang lahir setelah tahun 2010, dan hidup sepenuhnya di era digital.
Psikolog klinis Analisa Widyaningrum menyebut tantangan terbesar orangtua masa kini bukan sekadar bagaimana mendidik, melainkan bagaimana membesarkan anak yang tumbuh bersama teknologi.
“Kita nggak bisa melepaskan mereka dari teknologi, gadget, dan lain sebagainya. Tapi juga jangan sampai lepas perkembangan anak sesuai umurnya,” ujar Analisa dalam acara konferensi pers Break the Routine, Skip the Screen and Play Together! Parentalk Festival 2025 di Jakarta Selatan, Rabu (7/10/2025).
Menurutnya, dunia digital tak bisa dihindari, tapi bisa disikapi dengan bijak.
Tantangan Membesarkan Generasi Alfa
Analisa menjelaskan, Generasi Alfa lahir di tengah derasnya arus informasi. Mereka belajar bicara dari video, mengenal warna dari animasi, bahkan berinteraksi lewat dunia maya.
“Sebagai ibu, tapi juga sebagai psikolog, saya merasa tantangan terbesar adalah bagaimana kita bisa bersahabat dengan teknologi,” ungkapnya.
Orangtua harus ikut masuk, mengenal, dan mendampingi mereka di ruang virtual, bukan hanya memberi larangan.
“Orangtua tuh kayak butuh bersahabat dengan teknologi juga,” imbuh Analisa.
“Kalau tidak, kita akan tertinggal dari anak-anak kita sendiri,” katanya.
Kelekatan Emosional Tak Boleh Hilang
Meski teknologi tak terhindarkan, Analisa menegaskan bahwa kebutuhan dasar anak tetap sama, kelekatan dan kasih sayang orangtua. Lima tahun pertama kehidupan anak adalah masa keemasan perkembangan otak dan emosi, yang tidak bisa digantikan oleh layar.
“Misalnya lima tahun pertama, dua tahun pertama, itu kan akan berbeda di otak bagaimana yang bertumbuh, berkembang, orang tua harus hadir seperti apa, dan menciptakan kelekatan dengan cara interaksi orang tua sebisa mungkin,” jelasnya.
Teknologi, kata Analisa, justru bisa menjadi jembatan jika digunakan dengan bijak. Orangtua bisa menggunakannya untuk mempererat hubungan, bukan menjauhkan.
“Sekarang itu justru banyak terbantu oleh teknologi. Misalnya kita bisa stimulus anak lewat musik, lewat storytelling. Kalau dulu kita bacain buku, sekarang bisa nonton Youtube bareng, tapi orang tua dampingin,” katanya.
Musik: Bahasa Universal yang Menumbuhkan
Bagi Analisa, salah satu bentuk stimulasi paling efektif bagi anak di era digital justru datang dari musik. Ia menjelaskan, musik memiliki peran penting dalam menyeimbangkan perkembangan otak kanan (emosi) dan otak kiri (logika).
Menurutnya, hasil penelitian di Inggris menunjukkan bahwa anak yang mendapat stimulasi musik aktif maupun pasif memiliki peningkatan fungsi kognitif hingga 34 persen dibandingkan anak yang hanya belajar komputer.
“Anak yang terstimulus dengan baik melalui musik, ternyata kemampuan dia berpikir kognitif meningkat. Jadi anaknya lebih gampang belajar akademik,” ujarnya.
Ia pun menerapkan hal itu pada anak-anaknya sendiri. “Aku walau nggak ada darah-darah musik, anakku tetap belajar musik. Terserah mau jadi apa besok, tapi ternyata itu membantu banget,” katanya.
Sumber: Tribunnews.com