SMARTPEKANBARU.COM – Banyak perusahaan di Indonesia kini mulai mengadopsi teknologi kecerdasan buatan (AI). Meski demikian, sebagian besar ternyata belum siap untuk menghadapi tantangan maupun “memetik” dari keuntungan dari investasi di bidang AI. “Kenyataan” ini disimpulkan dalam laporan tahunan berjudul “Cisco AI Readiness Index 2025” yang dirilis perusahaan teknologi jaringan asal AS, Cisco baru-baru ini. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa hanya 23 persen organisasi di Indonesia yang sudah siap dengan tantangan dan bisnis AI dan masuk ke dalam kategori “Pacesetters”.
Sementara sisanya dinilai tak sepenuhnya siap dengan AI dan terancam ketinggalan zaman, baik itu dari segi penerapan teknologi maupun bisnis.
Pacesetters merupakan julukan Cisco untuk perusahaan yang berhasil mengimplementasikan AI hingga tahap produksi dan menghasilkan nilai bisnis yang terukur secara konsisten.
“Ambisi untuk mengadopsi AI memang luar biasa tinggi, tetapi kesiapan masih tertinggal jauh,” kata SVP & President of Sales Cisco Asia Pacific (APAC), Japan & Greater China (APJC), Ben Dawson dalam webinar “Cisco AI Readiness Index 2025” yang digelar para Rabu (15/10/2025) siang. “Hanya sebagian kecil perusahaan yang benar-benar mampu menerjemahkan investasi dan ambisi itu menjadi nilai bisnis nyata,” tambah Ben.
Sementara Managing Director Cloud & AI Infrastructure Cisco APJC, Simon Miceli menyebut Pacesetters tidak sekadar bereksperimen dengan AI. Sebab, mereka juga mendefinisikan dengan jelas apa yang ingin dicapai, serta mengukur hasil dari awal hingga implementasi AI ke perusahaan mereka. “Perusahaan yang dikategorikan Pacesetters menunjukkan bahwa keberhasilan AI bukan soal aspirasi saja, tapi juga soal persiapan dan eksekusi yang disiplin,” ungkap Simon di kesempatan yang sama.
Cisco tak menyebut berapa jumlah perusahaan dan berasal dari industri mana saja yang tergolong sebagai Pacesetters. Namun yang jelas, perusahaan yang tak masuk golongan ini (sekitar 77 persen dari total responden Cisco yang berasal dari Indonesia) bisa dibilang masih belum siap sepenuhnya dengan apa yang ditawarkan AI. Adapun sisa golongan perusahaan ini termasuk ke dalam kategori “Chasers” (cukup siap) dengan porsi terbanyak mencapai 56 persen, “Followers” (siap terbatas) 21 persen, dan “Laggards” (belum siap) dengan porsi sekitar 1 persen.
Dalam laporan yang sama, Cisco juga mencatat 97 persen perusahaan di Indonesia, alias nyaris semua responden yang berasal dari Tanah Air, memiliki rencana untuk menerapkan agen AI dalam 12 bulan ke depan. Agen AI adalah sistem AI yang bisa bekerja secara otomatis tanpa harus diperintah atau diberikan prompt berkali-kali.
Kemudian, 45 persen perusahaan di Indonesia juga berharap bahwa agen AI ini akan bisa bekerja berdampingan dengan karyawan di tahun depan. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi AI bukan lagi wacana, melainkan strategi bisnis nyata di kalangan perusahaan di Indonesia.
Meski rencana pakai agen AI ini sudah terpikir, tak sedikit perusahaan yang mengaku bahwa sistem mereka tak fleksibel. Sebanyak 29 persen responden mengatakan bahwa jaringan mereka tidak bisa ditingkatkan untuk mengatasi kompleksitas atau volume data yang biasanya membeludak ketika agen AI beraksi atau beroperasi.
Sementara itu, hanya 27 persen perusahaan yang mengaku bahwa jaringan mereka fleksibel dan siap menghadapi volume data yang dihasilkan oleh agen AI. “Sebagian besar perusahaan sebenarnya sudah mengidentifikasi area di mana AI bisa memberi nilai tambah, tapi hanya sekitar sepertiga yang benar-benar tahu cara mengukur dampaknya,” jelas Ben. Terkait agen AI, Cisco juga mencatat sekitar 59 persen perusahaan di Indonesia baru memiliki rencana pengembangan tenaga kerja terkait teknologi tersebut.
‘Utang Infrastruktur’ bikin ketinggalan zaman Di Cisco AI Readiness Index 2025, Cisco juga memperkenalkan istilah baru yang dijuluki “AI Infrastructure Debt” atau “Utang Infrastruktur AI”. Sederhananya, istilah ini menggambarkan ketertinggalan teknologi akibat perusahaan terburu-buru mengadopsi AI tanpa memperkuat sistem pendukungnya terlebih dahulu.
Bisa dibilang, AI Infrastructure Debt akan membuat sebuah perusahaan ketinggalan zaman dengan infrastruktur pendukung AI terkini. “AI Infrastructure Debt awalnya tidak terlihat. Tapi seiring waktu, konsep ini akan bikin suatu perusahaan yang tak siap AI akan lambat dalam inovasi. Biaya AI juga akan meningkat, dan nilai dari investasi AI juga akan terkikis,” kata Simon.
Di Indonesia, tanda-tanda ketertinggalan zaman atau AI Infrastructure Debt ini sudah muncul dan tercermin dalam Cisco AI Readiness Index 2025, yaitu dengan temuan seperti ini:
55 persen perusahaan mengeluhkan biaya komputasi tinggi.
82 persen khawatir gaji ahli AI akan melampaui anggaran.
70 persen kesulitan memusatkan data.
47 persen belum memiliki pengolah grafis (GPU) yang memadai.
32 persen menyebut sistem mereka sudah usang.
29 persen mengatakan infrastruktur IT mereka tak sanggup menahan lonjakan beban kerja.
Simon menambahkan, masalah yang ditimbulkan dari AI Infrastructure Debt ini tidak hanya memperlambat kemajuan bisnis, tetapi juga menimbulkan risiko keamanan baru. “Ketika keamanan gagal, kepercayaan juga hilang. Dan kepercayaan adalah bentuk modal yang sangat penting. Tanpa AI yang aman, nilai yang dihasilkan pun tidak akan berkelanjutan,” tegas Simon. Dalam soal keamanan, Cisco menyebut hanya 37 persen perusahaan di Indonesia yang siap menghadapi ancaman siber berbasis AI. Sedangkan 56 persen perusahaan di Tanah Air menyadari risiko keamanan siber yang ditimbulkan oleh AI.
Ikuti Pacesetters Dengan ambisi besar dan kesiapan yang masih rendah, Cisco menilai perusahaan Indonesia kini harus menerapkan aksi nyata dan memperbarui strategi mereka.
Sebab, nilai bisnis dari AI hanya bisa diraih oleh perusahaan yang benar-benar siap secara infrastruktur, data, dan talenta digital.
Jika tidak segera memperbarui fondasi digital dan memperkuat tata kelola AI, banyak perusahaan bisa tertinggal dan ketinggalan zaman. “Saran kami sekarang bagi mereka yang dinyatakan belum siap dengan AI adalah ikuti para Pacesetters, mereka tahu betul bagaimana mengembangkan dan menerapkan AI sebagai teknologi dan dapat menciptakan nilai bisnis yang terukur,” pungkas Ben. Sekadar informasi, laporan Cisco AI Readiness Index dirilis Cisco setiap tahunnya, dan ini sudah mencapai tahun ketiga.
Untuk tahun 2025, Cisco menyebut melibatkan lebih dari 8.000 pemimpin perusahaan teknologi informasi (IT) dan bisnis dari 30 negara dan 26 industri, termasuk Indonesia. Survei dilakukan secara double-blind, artinya target yang disurvei tidak tahu siapa yang mensurvei, dan yang mensurvei (Cisco) juga tidak tahu siapa yang mereka survei. Hal ini bertujuan untuk menjaga integritas data.
sumber ; kompas.com