SMARTPEKANBARU.COM – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyimpulkan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja terkait percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN) bertentangan dengan kepastian hukum. Hal ini disampaikan Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian saat memberikan keterangan dalam sidang uji materi Undang-Undang Cipta Kerja terkait PSN dengan nomor perkara 162/PUU-XXIII/2025 yang digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (7/10/2025). “Berdasarkan kajian-kajian Komnas HAM dan temuan lapangan, Komnas HAM menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, norma PSN dalam Undang-Undang Cipta Kerja mengandung kekaburan norma yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan kepastian hukum,” kata Saurlin, Selasa.
Dia juga menyebutkan bahwa pelaksanaan PSN menimbulkan pelanggaran yang nyata terhadap hak atas lingkungan hidup yang sehat, hak atas rasa aman, dan hak atas properti. Selain itu, Saurlin juga menyebutkan tata kelola PSN yang bersifat top-down menghasilkan proyek yang tidak ramah HAM dan cenderung meniadakan partisipasi publik yang bermakna.
Kemudian terdapat kesenjangan nyata antara tujuan normatif PSN dengan realitas di lapangan yang sering menghasilkan konflik sosial dan kriminalisasi terhadap warga.
“PSN telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius di mana instrumen lingkungan yang ada tidak berjalan dengan efektif,” kata Saurlin. Komnas HAM juga menilai bahwa pelibatan aparat keamanan dalam melaksanakan PSN yang berlebihan mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM secara utuh. “Dan yang terakhir, hilangnya akses masyarakat adat atas tanah dan budaya akibat PSN mengancam identitas budaya dan keberlanjutan hak masyarakat adat,” ujar Saurlin.
Gugatan UU Cipta Kerja
Sebagai informasi, permohonan ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), serta 19 pemohon lainnya. Mereka mengajukan uji materi “kemudahan dan percepatan Proyek Strategis Nasional (PSN)” dan/atau frasa “PSN” dalam Ketentuan Pasal 3 huruf d; Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 Ayat (2) dan Ayat (4); Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 Ayat (2) dalam Pasal 124 Angka 1. Kemudian, Pasal 19 Ayat (2) dalam Pasal 36 Angka 3; Pasal 17 A Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) dalam Pasal 18 Angka 15; serta Pasal 34A Ayat (1) dan Ayat (2) dalam Pasal 17 Angka 18 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).
Para pemohon mendalilkan bahwa UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN, menggerus prinsip-prinsip dasar negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Para pemohon berpendapat bahwa percepatan dan kemudahan PSN yang diatur dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja justru menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berdampak pada pelanggaran hak konstitusional warga negara. Norma tersebut dianggap kabur (vague norm) karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” yang tidak memiliki batasan operasional konkret.
Hal ini dinilai membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna. Atas dasar hal tersebut, para pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang digugat dalam UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki ketentuan hukum yang mengikat.
SUMBER ; kompas.com