SMARTEKANBARU – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia angkat bicara soal keraguan sebagian pihak terhadap data pertumbuhan ekonomi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Dalam pernyataannya, Bahlil tak sekadar membela data, tapi juga menegaskan peran strategis sektor energi dalam menopang ekonomi nasional.
Ia memaparkan bahwa Kementerian ESDM berhasil menyumbang 15,5 persen terhadap total pendapatan negara.
Menurutnyaka, angka itu signifikan yang membuktikan kekuatan sektor ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang nyata, bukan sekadar angka di atas kertas.
“PNBP kita itu hampir 10 persen dari total pendapatan negara, minus pembiayaan. Belum PPH dan PPN di sektor pertambangan, minyak dan gas, dan lain-lain,” kata Bahlil saat memberi sambutan dalam acara penandatanganan MoU bersama BPS di kantor Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Selasa (14/10/2025).
Dalam menyajikan data tersebut, Bahlil menyebut Kementerian ESDM membutuhkan BPS. Sebab, kini badan tersebut yang dipercaya banyak orang.
“Cuman memang dalam rangka penyajiannya, ini harus dibantu oleh BPS karena sekarang BPS ini adalah badan yang harus dipercaya oleh semua orang. Masa percaya sosmed (sosial media) daripada BPS? Kan enggak bisa,” uajr Bahlil.
Ia kemudian menyinggung data pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS banyak diprotes.
Ketua Umum Partai Golkar itu menyoroti pihak-pihak yang mempersoalkan data tersebut. Ia menilai, masyarakat Indonesia kerap meragukan hal-hal yang menunjukkan keberhasilan.
“Jadi, kalau BPS mengatakan pertumbuhan ekonomi sekian, ya sudah, kenapa harus protes gitu? Kita ini kadang-kadang, kalau yang berhasil, ragu untuk mengakui. Tapi kalau yang, mohon maaf, yang tidak berhasil, suka diolokin,” ucap Bahlil.
“Kita ini bangsa besar yang harus percaya kepada kemampuan bangsa dan anak-anak negeri ini,” sambungnya.
Sebelumnya, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mempertanyakan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2025 sebesar 5,12 persen padahal di saat yang sama tidak ada momentum pendorongnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II mencapai 5,12 persen secara year on year. Angka itu tumbuh dibandingkan triwulan I sebesar 4,87 persen.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan, data yang dikeluarkan oleh BPS dianggap sebagai anomali. Padahal di triwulan kedua ini tidak ada momentum Ramadan atau salah satu pendorong daya beli masyarakat.
“Terkait dengan triwulan II ini kita lihat bahwa tidak ada sebetulnya momentum Ramadan. Seperti di triwulan I. Dan pertumbuhannya di triwulan pertama ini tentu saja lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya 4,87 persen tetapi secara mencengangkan di triwulan II 5,12 persen.”
“Ini menjadi salah satu pertanyaan padahal tidak ada momentum Ramadan,” kata Andry saat Media Briefing secara virtual, Rabu (6/8/2025).
Bahkan Andry menduga, pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II ada window dressing atau semacam perubahan terkait dengan data. Di satu sisi, beberapa ekonom memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi triwulan II berada dikisaran di bawah 5 persen.
“Dan sepertinya ada intervensi terkait dengan data di triwulan II ini,” jelasnya.
Menurut Andry, ada ketidaksesuaian data kinerja industri nasional yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan II seperti pengolahan, pertanian, kehutanan dan perikanan, perdagangan besar dan eceran, konstruksi serta pertambangan.
Data BPS menunjukkan pertumbuhan di industri pengolahan 5,68 persen, pertanian 1,65 persen, perdagangan 5,37 persen, konstruksi tumbuh 4,98 persen dan pertambangan tumbuh 2,03 persen.
Padahal menurut pada Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur, kinerja industri masih pada tahap kontraksi yakni 49,2 atau di bawah batas aman 50.
“Nah ini kembali lagi kita patut bertanya dan BPS patut menjelaskan terkait dengan apa itu mekanisme ataupun pengambilan data? Karena tidak cukup mencerminkan kondisi real di lapangan,” tutur dia.
Pada pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto yang menerapkan kebijakan efisiensi anggaran, kata Andry turut berkontribusi pada penurunan kinerja industri akomodasi dan makan minum dalam negeri.
“Kita tahu bahwa efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah, bagaimana banyak sekali kita ASN dan juga pemerintah daerah tidak melakukan kunjungan ke daerah-daerah.
Kita tahu bahwa dengan restriksi tersebut dan juga efisiensi yang dilakukan pemerintah, pertumbuhan dari penyediaan akomodasi itu menurun, tetapi ini sangat mencengangkan,” ucapnya.
Sumber : Tribun Pekanbaru