SMARTPEKANBARU.COM – Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk mencari sistem pemilu yang paling ideal akan dibahas pada tahun depan. Menyusul adanya sejumlah putusan dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), seleksi penyelenggara pemilu harus dilaksanakan dengan undang-undang yang baru. Pembahasan revisi aturan ini penting untuk menjawab harapan publik soal pelaksanaan pemilihan capres-cawapres yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) mengusulkan revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan revisi UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Setidaknya ada dua klaster dalam revisi UU Pemilu, yakni klaster teknis dan klaster politis.
Klaster teknis adalah pembahasan terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold, hingga ambang batas parlemen atau parliamentary threshold. Sementara klaster politis dikupas tentang bagaimana sistem pemilu yang ideal di tengah kerangka teoretis dan fenomena empiris di lapangan.
Mulai Rapat 2026
Untuk menghimpun sebanyak mungkin masukan publik sebelum pembahasan resmi dilakukan di DPR, rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mulai awal 2026 mendatang. “Yang kami lakukan mulai dari awal tahun 2026 adalah mengundang sebanyak mungkin stakeholders kepemiluan dan demokrasi untuk kita bisa semua mendapatkan insight,” ujar Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Menurut Rifqi, RDPU ini dilakukan untuk mendengar bagaimana seluruh stakeholder menyampaikan pendapat agar dapat menciptakan pemilu yang ideal. “Kira-kira sistem pemilu yang idealnya seperti apa, plus minusnya seperti apa, kemudian apa urgensinya kalau kita melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu,” imbuh dia.
Terlebih lagi, RUU Pemilu sudah ditetapkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 usulan Komisi II, sehingga dibutuhkan ketegasan jelang pemilu 2029. Komisi II disebutnya siap jika ditunjuk sebagai alat kelengkapan dewan (AKD) yang ditugaskan untuk membahas RUU Pemilu. “Ya, agar kita bisa betul-betul melaksanakan apa yang disebut dengan meaningful participation dalam pembentukan legislasi. Jadi nanti bisa saja pembahasan Undang-Undangnya cepat. Tetapi sebelum itu, kita sudah buka ruang untuk menerima insight,” kata dia.
Yusril: Follow up putusan MK
Dari pemerintah, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra memastikan akan merevisi UU Pemilu dengan mempedomani keputusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
“Pemerintah hormati putusan Mahkamah Konstitusi dan sebagai follow up, tentu pemerintah akan merevisi Pasal 222 dari Undang-Undang Pemilu terkait dengan Pilpres mengenai presidential threshold,” ujar Yusril saat ditemui di Sofyan Hotel, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (17/1/2025). Dalam putusan MK, ada lima rekayasa konstitusi (constitutional engineering) yang disarankan. Hal ini agar hak mencalonkan presiden dari parpol peserta pemilu bisa dijaga. Namun, di saat yang sama tetap memberikan batasan koalisi agar tidak terlalu banyak pasangan calon dan tak ada aksi borong partai.
Menurut Arfianto Purbolaksono, Research Associate, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), menilai bahwa RUU Pemilu ini memiliki dampak yang sangat besar.
“Revisi UU Pemilu tidak boleh hanya dipandang sebagai ajang kompromi politik jangka pendek, tetapi harus dilihat sebagai momentum penting untuk memperkuat fondasi demokrasi Indonesia,” jelas Arfianto dikutip dalam keterangannya, Jumat (3/8/2025).
TII mengingatkan revisi Undang-Undang Pemilu harus dilakukan dengan proses legislasi yang baik, mengingat besarnya dampak dari undang-undang tersebut. “Revisi UU Pemilu seharusnya menjadi contoh bagaimana DPR menjalankan proses legislasi yang ideal, yakni dengan mengedepankan transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas, serta berbasis pada data dan kajian akademik,” kata dia.
Arfianto mengatakan bahwa proses revisi UU Pemilu seharusnya tidak terjebak pada kepentingan politik jangka pendek partai-partai di DPR. Dengan demikian, revisi ini perlu menggunakan kajian akademik dan evaluasi penyelenggaraan pemilu sebelumnya sebagai dasar pengambilan keputusan. “DPR perlu membuka ruang partisipasi masyarakat, bersikap transparan dalam pembahasan. Tanpa proses yang terbuka, publik akan sulit menerima hasil revisi, serta legitimasi dan has?l pemilu justru bisa dipertanyakan,” jelasnya.
Pakar hukum tata negara sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini juga pernah menjelaskan bahwa revisi UU Pemilu harus disegerakan agar sistem demokrasi dapat disesuaikan dengan putusan MK. Setidaknya ada lima undang-undang yang harus direvisi akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029. Kelima undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. “Penghormatan terhadap putusan MK dan terus mengawal MK supaya independen begitu ya, itu menjadi satu kewajiban yang melekat juga pada kita,” ujar Titi dalam diskusi daring bertajuk Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu (27/7/2025).
Menurutnya, Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 harus segera ditindaklanjuti dengan merevisi UU Pemilu, karena undang-undang tersebut belum lagi diubah sejak Pemilu 2019 dan kini membutuhkan penyesuaian.
Target selesai Juli 2026
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengungkap, revisi UU Pemilu setidaknya harus sudah selesai pada Juli 2026. Menurut politikus Partai Golkar itu, ada tiga undang-undang urgen yang harus segera direvisi mengingat tenggat waktu jelang Pemilu 2029.
Ketiganya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Revisi ketiga undang-undang tersebut juga harus dilakukan akibat sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kepemiluan.
“Setahun ini kan menurut saya sudah lah waktu yang cukup. Kalau nggak bisa dua tahun (sampai) satu tahun setengah (atau) satu tahun menurut saya masih ideal lah ya untuk bicarakan itu secara menyeluruh,” ujar ujar Doli dalam sebuah diskusi, Rabu (20/8/2025).
Ia pun mengajak semua pimpinan partai politik untuk duduk bersama membahas revisi UU Pemilu tersebut. Hal ini diperlukan agar revisi UU Pemilu bisa segera terlaksana, mengingat seleksi penyelenggara pemilu harus dilaksanakan dengan undang-undang yang baru. “Nah mudah-mudahan kalau memang ada kesepakatan yang cepat di pimpinan partai politik itu bisa di-deliver ke fraksi-fraksi DPR, dan DPR mulai bersama dengan pemerintah membahas itu,” ujar Doli. Dari sisi partai politik, Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani telah mengingatkan seluruh legislator Fraksi PDIP untuk bersiap menghadapi dinamika politik khususnya RUU Pemilu yang akan sangat menentukan ruang gerak pada Pemilu 2029.
Maka itu, Puan mengatakan, konsolidasi yang solid, organisasi yang solid, adalah kekuatan bagi partai berlambang kepala banteng itu dalam menggalang dukungan dari rakyat. “Apa pun Undang-Undang Pemilu yang akan dihasilkan, tidak ada pilihan yang mudah, semua pilihan tetap membutuhkan kesiapan partai kita,” kata Puan dalam keterangan pers, Kamis (31/7/2025).
SUMBER ; kompas.com