SMARTPEKANBARU.COM – Kajian terbaru Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menunjukkan, industri aset kripto memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Sepanjang 2024, aktivitas perdagangan aset kripto menghasilkan nilai tambah bruto (PDB) sebesar Rp 70,04 triliun atau 0,32 persen dari PDB nasional. Laporan itu menyebut, angka ini berpotensi meningkat hingga Rp 260 triliun jika seluruh transaksi di platform ilegal dialihkan ke ekosistem resmi dan teregulasi. Indonesia kini menempati posisi ketiga dunia dalam adopsi kripto, dengan 23 juta akun pengguna dan nilai transaksi mencapai Rp 650,6 triliun pada 2024—melonjak 335 persen dibanding tahun sebelumnya.
Selain itu, industri ini berkontribusi menciptakan lebih dari 333 ribu lapangan kerja, dan berpotensi meningkat hingga 1,2 juta pekerja bila seluruh aktivitas kripto berlangsung di platform legal. Namun, potensi kehilangan penerimaan pajak negara mencapai Rp 1,7 triliun akibat maraknya aktivitas di platform luar negeri yang belum berizin.
“Secara keseluruhan, perdagangan aset kripto legal dan ilegal pada 2024 berpotensi memberi kontribusi Rp 189 hingga Rp 260 triliun terhadap PDB nasional, atau sekitar 0,86 hingga 1,18 persen,” tulis riset LPEM FEB UI.
Regulasi dan Pajak Jadi Kunci Menanggapi hasil riset itu, CEO Tokocrypto Calvin Kizana mengatakan, temuan LPEM FEB UI merupakan bukti empiris bahwa kripto bukan lagi sekadar tren, melainkan sektor ekonomi digital yang memberi efek berganda nyata bagi Indonesia. “Data ini menunjukkan bahwa kripto telah berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, membuka lapangan kerja baru, dan memperkuat literasi finansial digital masyarakat,” ujar Calvin melalui keterangannya, dikutip Jumat (10/20/2025). Namun, Calvin menilai potensi besar ini hanya dapat terwujud penuh bila regulasi lebih adaptif, pajak lebih proporsional, serta penegakan hukum terhadap platform ilegal dilakukan secara konsisten.
“Tantangan utama industri kripto bukan pada minat pasar, tapi pada keseimbangan regulasi dan kecepatan adaptasi kebijakan. Jika proses listing token masih memakan waktu hingga 10 hari dan pajak lebih tinggi dari platform luar negeri, industri lokal akan sulit tumbuh,” jelasnya. Ia berharap kebijakan pajak kripto bisa disesuaikan agar setara dengan instrumen investasi lain, seperti saham dengan PPh final 0,1 persen. Dengan kebijakan yang lebih adil, ekosistem kripto di dalam negeri diyakini akan lebih kompetitif dan inklusif.
Tantangan Literasi dan Ekosistem Aman Selain soal regulasi, LPEM FEB UI menyoroti rendahnya literasi keuangan digital di Indonesia. Hanya 3 persen orang dewasa yang memahami aset kripto, jauh tertinggal dari Malaysia (16 persen), Arab Saudi (22 persen), dan Brasil (52 persen). Calvin menilai rendahnya literasi menjadi tanggung jawab bersama seluruh pelaku industri.
“Kami berkomitmen memperluas edukasi publik agar masyarakat memahami manfaat sekaligus risikonya. Masa depan ekonomi digital Indonesia hanya bisa tumbuh di atas fondasi literasi dan kepercayaan,” ujarnya. Laporan LPEM FEB UI menegaskan, legalisasi dan optimalisasi ekosistem kripto dapat memperluas lapangan kerja, meningkatkan penerimaan pajak, sekaligus mendorong kontribusi sektor ini hingga 0,86 persen terhadap PDB nasional. “Indonesia punya peluang besar menjadi pusat ekonomi digital berbasis aset kripto di Asia Tenggara. Dengan regulasi cerdas dan pajak yang proporsional, kripto bisa menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” tulis laporan tersebut.
sumber ; kompas.com